Sabtu, 03 November 2012
Masalah Pembangunan Ekonomi
Pembangunan jangka panjang tahap pertama Indonesia telah
berhasil mengantar ekonomi Indonesia dari pendapatan perkapita
sekitar USD 70 pada periode 1968/69 menjadi USD 700 pada periode
1993/94. Keadaan itu tercapai sebagai akibat pertumbuhan ekonomi
yang lumayan selama 25 tahun lebih.
Akan tetapi, hasil pembangunan jangka panjang yang pertama yang
menurut pandangan Bank Dunia itu cukup menakjubkan, tidaklah
mencapai optimum yang seharusnya. Ekonomi Indonesia seharusnya
bisa bertumbuh dengan lebih baik, sebagaimana dicontohkan oleh
negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Korea
Selatan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata tidak sebesar
yang seharusnya bisa dicapai, meskipun Indonesia dikenal alamnya
yang kaya-raya.
Banyak masalah, halangan, ketidak-pastian dan risiko yang harus
dihadapi ekonomi Indonesia selama ini. Berikut ini adalah sepuluh
persoalan utama yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia dewasa ini.
Persoalan ini harus dimengerti sepenuhnya sebagai suatu tantangan
masa depan pembangunan kita.
1. Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi.
Menurut catatan statistik pada tahun 1991/92, diperkirakan lebih
dari 100 juta orang Indonesia yang masih berada di bawah garis
kemiskinan. Kalau dianggap tidak ada perbedaan garis kemiskinan
antara kota dan desa, dan diambil angka Rp.1000 pengeluaran
sehari seorang (atau Rp. 30,000 sebulan seorang) sebagai garis
kemiskinan, maka di bawah garis tersebut ada 120 juta yang masih
miskin, yaitu di kota 20 juta dan di desa 100 juta orang. Kalau
diambil garis kemiskinan yang lebih rendah, yaitu Rp. 500 sehari
seorang (atau Rp. 15,000 sebulan seorang), maka akan terdapat 28
juta orang miskin, yaitu 2 juta di kota dan 26 juta di desa.
Pengeluaran ini belum termasuk untuk pendidikan dan kesehatan.
Belum lagi, kalau diperhitungkan untuk suatu keluarga yang
terdiri dari 4 orang. Tentu pengeluarannya sehari jauh lebih
besar daripada sekedar 4 kali Rp. 30,000. Keadaan sekarang
diperkirakan tidak berbeda jauh dari itu.
Data bisnis juga menunjukkan kesenjangan ekonomi yang sangat
besar antara mereka yang miskin di atas dengan yang kaya raya.
Grup-grup perusahaan yang tergabung dalam 200 konglomerat
Indonesia menghasilkan omset (nilai penjualan) sebesar ekivalen
dengan 80 persen dari pendapatan nasional (Produk Domestik Bruto,
sekitar Rp. 250 trilyun pada 1992/93).
Kesenjangan pendapatan juga terjadi antara sektor pertanian-
pedesaan dan sektor industri-perkotaan. Kesenjangan yang sangat
tajam juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa, dan antara Kawasan
Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Masalah kemiskinan
dan kesenjangan ini bisa menimbulkan friksi-friksi sosial yang
bisa merusak hasil pembangunan selama ini.
2. Masalah Hutang Luar Negeri.
Hutang luar negeri telah meningkat sangat besar. Pada saat ini
Indonesia telah menjadi negara penghutang terbesar nomor tiga
sesudah Brazil dan Meksiko, yaitu dengan hutang mencapai lebih
dari USD 100 miliar. Lebih dari 60 persen di antaranya adalah
hutang dari pemerintah, selebihnya hutang swasta. Dibanding
dengan hutang asing yang dibuat pada rezim Bung Karno, yang
mencapai USD 2.14 miliar, hutang asing sekarang merupakan
peningkatan 50 kali; padahal pendapatan nasional hanya naik tidak
lebih dari 15 kali.
Dengan kemajuan-kemajuan ekonomi yang dicapai di sektor
pemerintah, mungkin Indonesia tidak terlalu sulit di dalam
membayar kembali hutang asing tersebut sebesar USD 9-10 setiap
tahun. Akan tetapi untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 5-6
persen setahun, Indonesia terpaksa harus meminjam lagi hutang
asing baru sebesar minimum USD 5 milyar setiap tahun.
Hutang baru sebesar itu pun terpaksa harus dibuat melihat sisi
neraca pembayaran yang tidak seimbang, karena ketidakmampuan
ekonomi (industri) menghasilkan cukup devisa. Dengan demikian,
ekonomi Indonesia telah seakan-akan “terperangkap” atau
“kecanduan” (addicted) dengan hutang asing. Persoalan yang tidak
pernah bisa dijawab tentang hutang luar negeri ini adalah kapan
hutang asing itu semakin mengecil dan bisa habis terlunasi.
Kecuali, kalau hutang baru sangat dikurangi atau dihentikan
samasekali, dan dicari sumber-sumber dari dalam negeri sebagai
penggantinya. Persoalan hutang asing ini menjadi semakin besar
apabila dikaitkan dengan Yendaka (apresiasi Yen), di mana Yen
mempunyai porsi besar dalam hutang-hutang Indonesia.
3. Defisit Neraca Pembayaran dan Ketidakmampuan Industrial.
Defisit yang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat ini
ditunjukkan oleh transaksi lancar (current account) dalam neraca
pembayaran. Untuk periode tahun anggaran 1995/1996 ini
diperkirakan defisit akan mencapai lebih-kurang USD 5 milyar.
Defisit ini sendiri mengakibatkan penurunan nilai Rupiah yang
terus-menerus yang selanjutnya ketidakpastian ekonomi. Depresiasi
Rupiah sendiri tidak secara langsung meningkatkan ekspor, karena
ketakmampuan ekspor tidak sekedar karena Rupiah yang overvalued.
Sebab utama dari penurunan nilai Rupiah adalah ketidakmampuan
industri Indonesia menghasilkan cukup devisa sesuai dengan
permintaan. Selain itu, sektor riil penghasil barang ini sangat
tergantung pada ekonomi dan teknologi asing. Setiap kali
kenaikan ekspor terjadi, setiap kali pula harus didahului dengan
kenaikan impor yang tinggi atas bahan-bahan baku industri,
barang-barang penunjang atau komponen, dan barang-barang modal.
Dengan demikian industri Indonesia justru boros devisa daripada
menjadi penghasil devisa.
Sekarang ini, ekspor bersih Indonesia baru akan bergerak ke arah
USD 10 milyar dengan laju pertumbuhan yang menurun. Selain itu,
ekonomi Indonesia juga masih dibebani dengan impor atas jasa-
jasa, seperti pembayaran bunga pinjaman serta jasa-jasa lain
khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia dan
penguasaan teknologi, yang jumlahnya bergerak ke arah USD 15
milyar. Sebagai akibatnya, terjadilah defisit transaksi lancar
yang cukup besar.
Ketidakmampuan dalam teknologi mengakibatkan industri Indonesia
juga tidak cukup efisien, dan bahkan menjadi sumber dari high
cost, sehingga tidak mampu bersaing di pasar dunia menghasilkan
devisa. Industri juga menjadi bersifat kaku terhadap rangsangan
moneter dan menjadi sumber terjadinya inflasi. Industri Indonesia
ini masih sangat menggantungkan diri pada proteksi dan berbagai
fasilitas dari pemerintah. Industri-industri inilah yang justru
dikuasai dan sangat menguntungkan para konglomerat dan
monopolis-oligopolis. Mereka lebih banyak tergantung pada pasar
domestik yang sempit dan mahal daripada bersaing di pasar dunia.
4. Ketidakmampuan Pengembangan SDM dan Penguasaan Iptek.
Ketidakmampuan pengembangan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi (Iptek) adalah inti dari semua persoalan ekonomi di
Indonesia. Selama pembangunan jangka panjang 25 tahun yang
pertama, Indonesia hampir samasekali melupakan pentingnya
pengembangan SDM dan penguasaan Iptek. Dari 140 juta angkatan
kerja (umur 10 tahun ke atas) Indonesia, hampir 80 persen
daripadanya berpendidikan setingkat sekolah dasar (SD), yaitu 45
juta tamat, 43 juta drop-out, dan 20 juta samasekali tidak pernah
sekolah. Jumlah sarjana hanya sekitar 2 juta, dan sisanya 30 juta
adalah dari SLTP dan SLTA, tamat atau tidak tamat.
Dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah itu, maka tenaga
kerja Indonesia menjadi sangat mahal dalam proses produksi.
Sebagai akibatnya lemah pula industrialisasi Indonesia. Akibat
selanjutnya adalah munculnya produk-produk yang tidak mampu
bersaing di pasar dunia, yang tidak mampu menghasilkan devisa.
Struktur industri Indonesia juga tidak didasarkan pada
comparative advantange sesuai dengan kekayaan alam Indonesia,
sehingga pada akhirnya produk-produknya tidak mampu berkompetisi
di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan pilihan teknologi yang
salah, yang mahal karena tidak sesuai dengan kemampuan domestik.
Seharusnya dikembangkan pula jenis teknologi murah dan madya,
yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan yang mampu mengatasi
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pengangguran angkatan kerja di Indonesia juga cukup tinggi.
Bahkan, pengangguran telah pula melanda mereka yang berpendidikan
sarjana. Dikabarkan oleh Menteri Tenaga Kerja pada awal tahun
ini, bahwa dari 150 ribu sarjana yang dihasilkan setahun, hanya
maksimal sekitar 60 ribu yang memperoleh pekerjaan.
Pilihan teknologi yang terlalu padat modal, dan yang menjurus ke
tingkat menengah (medium technology)-atas dan tingkat tinggi
(high technology) juga menjadi salahsatu sebab terjadinya
pengangguran yang besar dan berbagai inefisiensi dalam industri.
Broad-base technology lah yang mestinya dikembangkan di
Indonesia, yaitu yang mengutamakan penggunaan jenis-jenis
teknologi yang rendah (low technology) hingga menengah-bawah,
yang murah, dan yang mudah disediakan, diadopsi dan dikuasai
oleh masyarakat banyak.
5. Penyempitan Infrastruktur.
Tidak ada pembangunan yang tidak dimulai dengan pembangunan
infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, air
bersih, telepon, dll. Selain ketidakmampuan SDM dan penguasaan
Iptek yang disebutkan di atas, juga ketidakmampuan menyediakan
dana dan alokasinya yang tak sesuai mempengaruhi pula
perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Secara umum, penyempitan infrastruktur (infrastructure
bottleneck) telah terjadi di Indonesia. Dibanding dengan
permintaan yang begitu besar terhadap investasi, maka jalan-jalan
di Indonesia terasa sempit, dan tenaga listrik serta air bersih
terasa sangat kurang. Pada gilirannya, penyempitan infrastruktur
ini akan mengakibatkan menyusutnya penanaman modal di Indonesia,
khususnya di sektor industri. Selain itu perlu diperhatikan,
bahwa penyempitan infrastruktur bisa menjadi sumber inflasi yang
sangat tinggi (hyper-inflation). Oleh sebab itu, masalah
penyempitan infrastruktur ini juga harus diatasi segera.
Investasi yang terus-menerus di tanah Jawa akan diikuti dengan
permintaan infrastruktur yang semakin meningkat, sesuatu yang
semakin sulit dipenuhi oleh tanah Jawa yang semakin terbatas.
Kesulitan air bersih di Jawa dan semakin sempitnya lahan untuk
industri dan perumahan (yang juga mempersempit lahan pertanian
subur) adalah contoh semakin sempitnya infrastruktur di Jawa.
Penyempitan infrastruktur juga terjadi di luar Jawa, khususnya
Kawasan Indonesia Timur. Keadaan ini tentu mengakibatkan
terhambatnya pembangunan wilayah. Pembangunan infrastruktur di
luar Jawa sudah harus diperhatikan, untuk mulai menggali sumber-
sumber kemakmuran untuk meningkatkan pendapatan wilayah di sana
dan mengurangi tekanan-tekanan di Jawa.
6. Masalah Pangan dan Beras.
Usaha besar-besaran telah dilakukan oleh Indonesia untuk
berswasembada beras. Pada masa lalu, pada saat infrastruktur
bendungan, sawah dan irigasi rusak, sehingga Indonesia tidak
mampu menyediakan cukup beras, Indonesia menjadi negara pengimpor
beras terbesar dunia, yang mengakibatkan terkurasnya deviusa.
Sejak awal 1980-an, Indonesia telah berhasil berswasembada beras.
Tetapi swasembada beras ini, kini, terancam bahaya. Tahun ini
diperkirakan Indonesia harus mengimpor sekitar 2 juta ton beras.
Terjadinya paceklik pada beberapa tahun terakhir ini, antara lain
karena banjir dan kemarau yang panjang, mengakibatkan terjadinya
penurunan produksi beras. Apabila pola konsumsi beras tidak
diperbaiki, penduduk semakin bertambah (sekitar 10 juta setiap 5
tahun), maka kesulitan beras yang terjadi pada masa yang silam
akan bisa terulang kembali.
Patut pula dicatat, bahwa investasi dan pembangunan industri di
Jawa yang subur telah semakin mempersempit lahan pertaniannya
“dimakan” oleh areal industri dan perumahan. Banyak sawah-sawah
dengan irigasi teknis yang dikonversikan menjadi kawasan industri
dan perumahan. Demikian pula tiadanya penambahan areal sawah
baru, khususnya di luar Jawa, akan lebih menyulitkan penambahan
produksi beras di masa mendatang.
Selain itu juga perlu difahami, bahwa untuk meningkatkan produksi
beras pada masa lalu, segala dana dan daya dicurahkan “habis-
habisan” untuk meningkatkan produksi beras ini. Sebagai
akibatnya, meskipun ada peningkatan produksi beras secara
substansial, tetapi hal itu diikuti pula dengan menurunnya
produksi-produksi lain, khususnya tanaman-tanaman pangan lain.
7. Masalah Pertanahan dan Hak Atas Tanah.
Patut dicatat, bahwa tidak ada pembangunan yang tanpa dimulai
dengan pengendalian penggunaan tanah dan hak atas tanah, atau
land reform. Land reform tidak saja mengatur alokasi penggunaan
tanah, tetapi juga hak kepemilikan dan penggunaan atas tanah,
baik untuk individu atau kelompok, menetapkan hak maksimum dan
minimum, serta lamanya memegang hak tersebut. Selain berdampak
sosial, karena pertanahan ini berkaitan pula dengan kebutuhan
tanah untuk investasi, maka persoalan pertanahan sangat mungkin
mengakibatkan terhambatnya banyak sektor dalam pembangunan.
Di Indonesia masalah pertanahan dan hak atas tanah tersebut belum
diatur dengan baik. Sebetulnya sudah ada UU Pokok Agraria (1960),
akan tetapi UU tersebut pada kenyataannya tidak berjalan atau
sengaja tidak dijalankan sepenuhnya. Sebagai akibatnya,
muncullah masalah pertanahan yang meliputi berbagai kasus
penggusuran atas hak memiliki dan menggunakan lahan, pengalihan
fungsi lahan, dan banyak masalah lainnya.
Di samping ada penggusuran atas hak minimum individu, ada pula
kasus tentang penguasaan lahan yang tak terbatas. Tentu saja hal
tersebut mengakibatkan persoalan-persoalan baru yang berkaitan
dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Pengalihan fungsi
lahan meliputi penggusuran daerah kumuh yang padat hunian dan
pengalihan fungsi sawah atau lahan pertanian untuk tujuan-tujuan
pembangunan, termasuk perumahan dan kawasan industri, telah
menjadi persoalan pembangunan yang serius. Masalah pertanahan
juga muncul dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan transmigrasi,
relokasi penduduk, serta pembukaan lahan baru dan pembangunan
wilayah untuk tujuan-tujuan produktif.
8. Korupsi dan Inefisiensi Ekonomi.
Masalah korupsi dan inefisiensi ekonomi meliputi berbagai macam
kebocoran dalam ekonomi dan pembangunan. Selain korupsi yang
murni, ada korupsi tidak langsung yang dilakukan melalui praktek-
praktek mark-up dalam pelaksanaan pembangunan proyek. Berbagai
kebocoran ini menunjukkan pemakaian dana yang tidak produktif,
termasuk pemilihan proyek-proyek yang tak bermanfaat. Praktek
korupsi melibatkan dana negara, dan terjadi akibat kolusi antara
birokrat dan pengusaha berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang.
Ini semua menimbulkan keadaan high-cost dalam ekonomi.
Selain itu, ada pula kebocoran-kebocoran ekonomi yang bermuara
pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengakibatkan
inefisiensi ekonomi, seperti monopolisme-oligopolisme, pemberian
fasilitas keagenan dan proteksi dalam industri dan
perdagangan, serta berbagai kemudahan secara sembarangan bagi
sekelompok kecil masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, kebocoran ekonomi
Indonesia dikabarkan mencapai paling sedikit 30 persen, yaitu
dikaitkan dengan angka ICOR (incremental capital-output ratio)
yang terlalu tinggi (5). Apabila ICOR bisa dipertahankan rendah
(3,5), maka pertumbuhan ekonomi, dengan dana yang ada, dapat
mencapai 8,5 persen per tahun sekalipun tanpa hutang asing.
Sedang kalau hutang asing tetap dibuat, maka pertumbuhan ekonomi
bisa mencapai 9,5 persen. Padahal untuk mencapai angka
pertumbuhan 6-7 persen saja sulit sekarang ini.
Satu bukti lagi tentang inefisiensi pembangunan di Indonesia
ditunjukkan dari penelitian oleh Dr. Jeffrey A. Winters, dimana
Indonesia (1973/74-1989/90) disebutkan membutuhkan dana sebesar
USD 166,5 milyar, yang 20 kali lebih besar dari yang dibutuhkan
Korea Selatan (1959-1975) dalam periode 17 tahun konsolidasi
ekonomi. Padahal jumlah penduduk Indonesia hanya sekitar 5 kali
lipat penduduk Korea Selatan. Dan agaknya, 15 tahun dari sekarang
tidak mungkin ekonomi Indonesia akan mencapai pendapatan
perkapita 10 kali dari yang sekarang untuk menyamai Korea Selatan
yang telah mencapai USD 7000.
9. Sentralisasi Pembangunan dan Tiadanya Otonomi Daerah.
Salahsatu sumber inefisiensi pembangunan Indonesia adalah sistim
pemerintahan yang sangat sentralistis. Indonesia adalah negara
kepulauan yang sangat luas, dan beragam dalam suku, adat
istiadat, bahasa dan kebudayaannya. Meskipun begitu, semangat
persatuan dan kesatuan di antara berbagai keragaman itu justru
tumbuh secara alamiah sejak beratus tahun yang lampau. Negara
yang begitu luas dan beragam ini tidak mungkin akan dibangun
secara baik dengan sistim yang sentralistis.
Meskipun berbentuk negara kesatuan, tetapi otonomi pemerintahan
di daerah-daerah (provinsi) sangat diperhatikan oleh para
pemimpin kemerdekaan. Sehingga, otonomi daerah dinyatakan dalam
pasal khusus dalam Konstitusi, yaitu Pasal-18 UUD-1945. Dalam
prakteknya sekarang, otonomi daerah sebagaimana dituntut oleh
negara seluas dan seberagam Indonesia ini tidak berlangsung.
Sstim pembangunan yang sentralistis tanpa otonomi daerah akan
menghasilkan pembangunan yang timpang. Ketimpangan seperti ini
sudah sangat terlihat manakala pembangunan di Jawa dibandingkan
dengan luar Jawa atau antara Kawasan Indonesia Barat dan Timur.
Bahkan antara Jakarta (Jabotabek) dan daerah-daerah lain.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan memicu konflik-konflik
sosial yang bisa menghambat laju pembangunan, dan kemungkinan
perpecahan, sebagaimana terjadi di Soviet Uni dan Jerman Timur.
Dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, pemerintah
pusat menyerahkan sebagian pekerjaan administrasi pemerintahan
kepada daerah-daerah. Misalnya, urusan produksi dan industri,
perdagangan, pendidikan, keamanan daerah dan banyak hal lain.
Dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan tersebut,
daerah memperoleh kewenangan pula untuk mengidentifikasi sendiri
kemampuan, kekayaan dan keunggulan komparatif daerahnya untuk
dikembangkan dalam suatu konsep pembangunan daerah yang
diselenggarakan oleh putra-putra daerah sendiri. Pemerintah pusat
hanya sekedar menetapkan garis-garis besar pembangunan, khususnya
dalam upaya membuat keseimbangan pembangunan antar daerah.
10. Masalah Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia.
Prestasi pembangunan, seringkali dilupakan orang, banyak
dipengaruhi oleh sistim pemerintahan demokratis. Demokrasi, pada
hakekatnya, telah menjadi tuntutan setiap masyarakat di setiap
negara. Tidak ada negara satupun di dunia ini yang tidak pro
kepada demokrasi. Demikian pula Konstitusi UUD-1945 memberi
amanat, agar Republik ini diselenggarakan secara demokratis dalam
semua sektor, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Meskipun
tidak sendiri, ternyata Indonesia juga belum menyelenggarakan
demokrasi sebagaimana dituntut oleh Konstitusinya.
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang memperlihatkan,
betapa demokrasi masih belum dijalankan secara benar dan
sepenuhnya. Salahsatunya adalah dominasi dari pemerintah
(eksekutif) di atas lembaga perwakilan rakyat (legislatif) dan
lembaga peradilan (yudikatif). Dengan dominasi tersebut seakan-
akan semua keputusan pemerintah hendak dipaksakan agar diterima
oleh parlemen dan seluruh rakyat. Dengan keadaan seperti itu,
tidak lagi ada alternatif kebijakan yang cukup untuk digali, dan
dipilih yang terbaik di antaranya.
Pemerintah Orde Baru telah menetapkan tentang pentingnya
stabilitas pembangunan. Stabilitas ini dimaksudkan untuk
mengamankan segala keputusan pemerintah di depan parlemen.
Demikian pula stabilitas harus bisa diciptakan di lingkungan
masyarakat. Untuk mempertahankan stabilitas tersebut,
digunakanlah pendekatan, a.l. pendekatan keamanan yang dirasakan
sangat berlebihan. Pendekatan ini, selain sangat kontras dengan
pendekatan kesejahteraan rakyat, juga menempatkan eksekutif pada
kedudukan yang adikuasa yang bertentangan sendiri dengan prinsip
kedaulatan rakyat. Memang dengan pendekatan tersebut stabilitas
bisa dijamin, tetapi kemungkinan besar bersifat semu. Stabilitas
permanen dan dinamis hanya bisa tercipta kalau rakyat berdaulat.
Salahsatu dimensi utama dalam demokrasi adalah hak-hak asasi
manusia, yang juga tidak berjalan sebagaimana telah diamanatkan
oleh Konstitusi. Hak untuk berbeda pendapat, khususnya dengan
pemerintah, hampir selalu diartikan sebagai upaya menentang dan
memusuhi pemerintah. Seringkali dilupakan, bahwa kecendekiaan,
intelektualisme, penguasaan Iptek, dan pengembangan SDM lainnya
hanya bisa berlangsung dan mencapai puncaknya dalam alam
kemerdekaan bersikap dan berpendapat yang penuh, yang hanya bisa
dibatasi oleh ilmu pengetahuan itu sendiri, akhlak mulia, hukum
dan Konstitusi.
Demokrasi juga meliputi hak untuk membangun, untuk hidup
sejahtera, untuk berbudaya, untuk menikmati sumber-sumber
kemakmuran dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya.
Pembangunan adalah masalah alternatif, di mana rakyat harus
diberi peluang untuk mengemukakan pilihannya yang terbaik.
Berbagai kasus pencekalan hak berbicara, berserikat dan
berkumpul, penyiksaan dan pembunuhan serta pelanggaran hukum dan
hak-hak asasi lainnya yang dijamin oleh Konstitusi, dengan alasan
keamanan, sampai sekarang, juga masih terjadi. Masyarakat, pada
hakekatnya, dihantui oleh rasa takut terhadap penguasa.
Kesewenang-wenangan berlangsung, dan hukum seakan-akan selalu
berpihak kepada kekuasaan. Padahal demokrasi adalah alat
menjalankan negara, bukan produk kekuasaan.
Penutup
Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia. Berbagai persoalan
yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia harus mulai terbuka bagi
dunia. Bagaimanapun juga Indonesia, sebagaimana negara-negara
berkembang lainnya, tidak mungkin melaksanakan pembangunanya
sendiri. Oleh karena itulah didirikan berbagai lembaga
internasional, seperti PBB, Bank Dunia, CGI (atau IGGI) dan lain-
lain sebagai milik masyarakat internasional, yang selama ini
telah memberikan kontribusinya yang besar bagi Indonesia.
Kesulitan yang dihadapi dunia juga bisa berdampak terhadap
Indonesia, dan sebaliknya. Indonesia tidak ingin mengalami hal
seperti yang terjadi di Meksiko baru-baru ini, misalnya, yang
tiba-tiba saja mengalami krisis moneter yang menjadi persoalan
bagi dunia. Dunia perlu tahu apa yang terjadi dan yang menjadi
persoalan ekonomi dan pembangunan Indonesia, kesemuanya menjadi
tantangan untuk dipecahkan di masa mendatang.
Dalam hubungan tersebut, sangat patut diperhatikan Sila Kedua
Pancasila, yaitu internasionalisme atau kemanusiaan yang adil dan
beradab (humanisme). Nasionalisme tanpa internasionalisme tidak
akan membawa Indonesia kemana-mana. Meskipun ada unsur-unsur
kultural yang kuat sebagaimana terkandung dalam prinsip
nasionalisme, tetapi dengan internasionalisme itu, semakin
jelaslah bahwa Indonesia tidak bisa mengabaikan dasar hak-hak
asasi manusia sebagai hak-hak yang bersifat universal yang harus
dijunjung tinggi oleh semua bangsa di dunia.
(sumber : http://arozielerroy.wordpress.com/2011/07/07/10-masalah-pembangunan-ekonomi-indonesia/ )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar