Kamis, 15 November 2012
DAMPAK PEMBANGUNAN ARSITEKTUR
Bangunan Puskesmas rawat inap bersumber dari APBD Provinsi Riau di Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan tidak bermamfaat. Pasalnya, fisik bangunan dengan Tahun Anggaran 2008 ini sudah hancur dan rusak berat.
Demikian temuan reses anggota DPRD Pelalawan Daerah Pemilihan 2 beberapa hari yang lalu ke kecamatan Teluk Meranti. Dari temuan, tersebut kondisi bangunan fisik Puskesmas rusak berat, dinding bangunan retak-retak. Jika tidak segera di renovasi bangunan ini akan roboh.
Salah seorang, anggota DPRD Pelalawan Suprianto, mengaku, kondisi Puskesmas ini sama sekali tidak ada dilakukan upaya perbaikan oleh dinas Kesehatan provinsi, soalnya sejak pembangunan puskesmas ini dihentikan pekerjaannya sampai sekarang tidak di perbaiki sementara anggaran yang diperuntukan untuk membangun puskesmas ini mencapai milyaran rupiah.
uskesmas yang dibangun dari tahun 2008 s/d 2010 ini “sudah retak dan akan runtuh”. Kedua: Berdasarkan pantauan Riau Pos, Rabu (1/12), “Puskesmas ini rusak berat”. Ketiga: Menurut Lurah Teluk Meranti H Hasan, “Bagunan rusak parah, tidak mungkin digunakan, apalagi kerusakan tidak hanya retak dibebera sisi terlihat temboknya jebol dan pondasinya patah.
Keempat: Menurut Camat Meranti Dahnil, “bangunan yang dikerjakan rusak parah”. Kelima: Menurut dua kadis eks pecahan Dinas PU, yaitu Kadis Cipta Karya Zainal Abidin dan Kadis PU Atmonadi, (1) Menduga bahwa penyebab kerusakan berat bangunan Puskesmas Teluk Meranti adalah pondasi patah. (2) Menduga kelalaian kontraktor dalam melaksanakan pembagunan, dan “bukan karena kesalahan konsultan”.
Melihat situasi seperti apa yang telah diberitakan, yang pertama saya komentarin adalah bahwa “Munking Saja Salah Perencana”, sesuai dengan judul tulisan ini. Mengapa demikian? Dari gambar (Riau Pos) tampak dinding jebol, jadi jelas balok sloof (atau Tie Beam) yang menopang dinding patah, lepas, atau bisa jadi pondasi turun (larga Settlement). Kondisi bisa saja karena perencanaan penempatan pondasi dinding yang berbeda jenis atau kedalaman yang berbeda dengan pondasi induk. Bisa jadi perencanaan balok sloof atau tie beam yang tidak matang, sistem pemikulnya salah atau dimensi sloof kekecilan. Jadi hal ini mungkin saja kesalahan perencana, tolong evaluasi dulu, baru membuat pernyataan!
Kemudian kontraktor dan konsultan pengawas sudah jelas bersalah, sehingga terjadi kegagalan bangunan yang begitu parah. Seandainya ada kesalahan desain, seharusnya kontraktor dan konsultan pengawas pemenang tender harus mempelajari gambar kerja sebelum pelaksanaannya. Karena kontraktor dan konsultan pemenang tender seharusnya merupakan pihak yang sudah mampu dalam hal teknis sesuai dengan profesionalnya
DAMPAK PEMBANGUNAN ARSITEKTUR
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang
berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia atau masyarakat suatu
bangsa. Ini berarti bahwa pembangunan senantiasa beranjak dari suatu keadaan
atau kondisi kehidupan yang kurang baik menuju suatu kehidupan yang lebih baik.
Sering kali kita jumpai bangunan yang telah berdiri atau selesai di bangun tapi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya, sehingga bangunan itu terbengkalai dan tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu kita mesti mencari tahu apa saja sebab-sebab bangunan tersebut tidak dapat dioperasikan dengan sebaik mungkin.
Sering kali kita jumpai bangunan yang telah berdiri atau selesai di bangun tapi tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya, sehingga bangunan itu terbengkalai dan tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu kita mesti mencari tahu apa saja sebab-sebab bangunan tersebut tidak dapat dioperasikan dengan sebaik mungkin.
apabila pembangunan tanpa diawali dengan sebuah perencanaan
yang biasanya melibatkan campur tangan maupun pemikiran seorang
arsitek. Sebuah pembangunan yang dilakukan tanpa adanya pemikiran
dari seorang arsitek, biasanya akan berjalan tidak sempurna, karena terkadang
dalam memutuskan sebuah tindakan untuk pembangunan seorang klien biasanya hanya
berpedoman pada literatur - literatur bangunan yang pernah ia lihat
disekelilingnya.
Seorang arsitek diwajibkan mampu menganalisa suatu kondisi
yang sedang terjadi dalam proyek yang sedang dilaksanakannya. Perlunya
mempertimbangkan keadaan alam yang semakin hari semakin terbatas dalam segi
lahan dan aspek sosial serta pertimbangan terhadap pengaruh lingkungan menjadi
perhatian utama sang arsitek untuk mencari solusi dari semua keadaan untuk
mencapai hasil desain yang dapat diterima dari berbagai pihak tanpa mengurangi
resiko desain terhadap bangunan lingkup sekitarnya.
Selain itu, dapat pula terjadi apabila
pembangunan Rumah tanpa adanya campur tangan dari seorang arsitek, antara lain
sebagai berikut :
1. Adanya "Konsep" bangunan / rumah yang
tidak terdefinisi.
2. Perencanaan yang kurang matang terhadap program
kebutuhan ruang, mulai dari
kebutuhan ruang saat ini sampai dengan
prediksi kebutuhan ruang dimasa yang akan datang.
3. Meningkatnya biaya pembangunan rumah yang tidak
terkontrol. Tanpa adanya sebuah perencanaan yang jelas, maka biasanya
seseorang akan membangun rumahnya berdasarkan "kebutuhan,
pemikiran, maupun ide" yang ia pikirkan saat itu, sehingga sering terlupakan alternatif
- alternatif lain yang kemungkinan berpotensi lebih murah dan hemat.
4. Adanya sedikit penyesalan diakhir pembangunan.
Tujuan
Karena latar belakang yang ada, oleh karena itu tujuan dari penulisan ini
adalah untuk mencari tahu sebab-sebab mengapa bangunan-bangunan tersebut bisa
tidak terpakai. Faktor-faktor apa yang mempengaruhinya dan lain-lain. Dan
untuk pembangunan yang sedang dalam proses pembangunan, agar bisa terlaksana
membangun sampai selesai, diperhitungkan semua pengaruh terhadap penghuni,
lingkungan, serta bangunan itu sendiri, agar bangunan yang dibangun kelak akan
berguna dan tidak akan sia-sia.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Evaluasi Pasca Huni didasari keinginan untuk mengetahui
dampak dari desain arsitektur bangunan dalam beberapa periode tahun
pembangunannya terhadap penghuninya. Hal ini penting untuk mengetahui performa
bangunan yang termasuk didalamnya fungsi dan ketersediaannya fasilitas.
Evaluasi pasca huni pada rusunawa di DKI Jakarta adalah
untuk mengetahui persepsi penghuni terhadap perkembangan performa desain
arsitektur bangunan rusunawa berdasarkan beberapa periode
pembangunan. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk
memperbaiki desain rusunawa masa yang akan dating.Tujuan dari evaluasi pasca
huni untuk :
(1) menghasilkan dasar pertimbangan terhadap
desain arsitektur bangunan rumah susun yang sesuai dengan standar pembangunan
gedung, kenyamanan penghuni dan optimasi biaya pengelolaan
(2) meminimalkan permasalahan dan kekeliruan
dalam perancangan, sehingga desain dan penggunaan bahan bangunan yang
dihasilkan pada masa yang akan dating menjadi lebih baik. Identifikasi
masalah yang dilakukan berdasarkan pengamatan awal terhadap arsitektur bangunan
antara lain:
(a) permasalahan kebutuhan jenis ruang,
(b) permasalahan besaran ruang
(c) permasalahan jenis bahan dan
material. Berdasarkan analisis terhadap hasil observasi dan pengamatan di
lapangan dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa perkembangan arsitektur
baik dari kebutuhan akan jenis program ruang, besaran dan ukuran ruang
serta penggunaan material/bahan bangunan dalam beberapa periode, semakin
lama menjadi lebih baik. Dapat dijelaskan bahwa beberapa jenis kebutuhan
akan program ruang, besaran dan ukuran ruang serta penggunaan
material/bahan bangunan yang digunakan adalah sebagai berikut:
(*) kebutuhan akan jenis ruang semakin berkembang dalam
beberapa periode pembangunan,ini terlihat dari makin bervariasinya program
ruang,
(*) besaran ruang pada unit hunian semakin lama semakin
besar, sesuai dengan ketentuan bahwa unit paling kecil adalah 30 M2 dengan
2 (dua) ruang tidur,kebutuhan besaran unit juga perlu diperhatikan
terhadap target penghuni yang berbeda dan disesuaikan kebutuhan ruang dari
target penghuni seperti buruh pabrik/mahasiswa atau keluarga kecil/menengah
yang hanya membutuhkan ruang serbaguna untuk unit huniannya.
(*) perletakan zona ruang dalam beberapa periode tidak
mengalami perubahan yang drastis, penempatan zona ruang pada unit hunian
sudah memenuh criteria dalam standar penataan ruang,
(*) jenis bahan dan material semakin lama berdasarkan
beberapa periode semakin baik, hanya pada bagian-bagian tertentu
penggunaan bahan dan material belum memenuhi satu criteria, antara lain
finishing untuk ruang dalam unit hunian dan
(*) desain dan tampak muka (façade) bangunan
rusunawa semakin baik, sehingga dapat meningkatkan image dari rusunawa
tersebut. Selanjutnya untuk memperbaiki persepsi negative atas rusunawa
dapat direkomendasikan antara lain:
(.:.) berusaha melahirkan bentukan yang lebih dinamis
dan imajinatif,
(.:.) memilih material bangunan yang rendah
perawatan
(.:.) mengolah pilihan material tersebut menjadi lebih
menarik dan memiliki nilai estetis.
Kebutuhan mendesak dari banyak rumah sering membuat rencana
yang telah dilakukan adalah cepat dan tanpa intervensi dari
masyarakat setempat. Kondisi ini akan membuat masyarakat tidak puas dengan
rumah yang dibangun, dan mereka tidak tinggal di rumah (rumah kosong
fenomena). Beberapa teori mengatakan bahwa pembangunan partisipatif akan
lebih efektif dan berhasil daripada pembangunan berdasarkan konstruktor. Bahkan,
faktorberhasilnya pembangunan berdasarkan tingkat hunian dan kondisi
sosial ekonomi penghuni.
BAB III
METODELOGI
Analisis ini menggunakan analisis secara kualitatif.
Analisis kualitatif adalah analisi dengan cara mengumpulkan data berupa cerita
rinci atau keadaan sebenarnya. Dengan kata lain, analisi kualitaitf adalah
analisis dengan cara mengembangkan, menciptakan, menemukan konsep dan teori.
Analisi data secara kualitatif dilakukan berdasrkan logika dan argumentsi yang bersifat ilmiah. langkah-langka ini meliputi survey obyek-obyek komparsi, lokasi tapak untuk mendapatkan data-data dan komparsi yang berhubungan dengan obyek perancangan.
Analisi data secara kualitatif dilakukan berdasrkan logika dan argumentsi yang bersifat ilmiah. langkah-langka ini meliputi survey obyek-obyek komparsi, lokasi tapak untuk mendapatkan data-data dan komparsi yang berhubungan dengan obyek perancangan.
Konstruksi bangunan dan pengoperasian memiliki dampak
langsung dan tidak langsung yang luas pada lingkungan. Bangunan menggunakan
sumber daya seperti energi, air dan bahan baku, menghasilkan limbah (penghuni,
konstruksi dan pembongkaran) dan memancarkan emisi atmosfer yang berpotensi
membahayakan. pemilik Bangunan, perancang dan pembangun menghadapi tantangan
yang unik untuk memenuhi kebutuhan untuk fasilitas baru dan direnovasi yang
dapat diakses, aman, sehat, dan produktif sambil meminimalkan dampak terhadap
lingkungan.
Membuat bangunan berkelanjutan dimulai dengan :
o Pemilihan lokasi yang tepat,
termasuk pertimbangan penggunaan kembali atau rehabilitasi
bangunan yang ada.
Lokasi, orientasi, dan lansekap sebuah bangunan mempengaruhi
ekosistem lokal, metode transportasi, dan penggunaan energi.
o Memasukkan prinsip-prinsip pertumbuhan
Smart dalam proses pembangunan proyek,
misalnya sebuah gedung, kampus atau pangkalan militer.
· Penempatan untuk keamanan fisik merupakan isu
penting dalam mengoptimalkan desain, termasuk lokasi jalan akses, parkir,
hambatan kendaraan, dan lampu perimeter.
Hal-hal yang menjadi perhatian lingkup dalam pekerjaan
arsitektur adalah:
o Gunakan Optimalkan Energi
Untuk mengurangi beban, meningkatkan efisiensi, dan
memanfaatkan sumber daya energi terbarukan di fasilitas federal.
o Melindungi dan Menghemat Air
Sebuah bangunan yang berkelanjutan harus mengurangi,
mengontrol, dan mengobati limpasan situs, penggunaan air secara efisien, dan
penggunaan kembali atau daur ulang air untuk digunakan di tempat.
o Lebih baik Gunakan Produk
Lingkungan
Sebuah bangunan yang berkelanjutan dibuat dari bahan yang
meminimalkan dampak siklus kehidupan lingkungan seperti pemanasan global,
penipisan sumber daya, dan toksisitas manusia. Lingkungan bahan disukai
memiliki efek mengurangi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dan
berkontribusi untuk meningkatkan keselamatan pekerja dan kesehatan, kewajiban
mengurangi, biaya pembuangan dikurangi, dan pencapaian tujuan lingkungan.
o Meningkatkan Kualitas Lingkungan
Indoor
Kualitas lingkungan dari sebuah bangunan memiliki dampak
signifikan pada kesehatan penghuni, kenyamanan, dan produktivitas. Di antara
atribut lain, sebuah bangunan yang berkelanjutan memaksimalkan pencahayaan,
seperti memiliki ventilasi yang tepat dan kontrol kelembaban, dan menghindari
penggunaan bahan-bahan dengan emisi tinggi. Selain itu, pertimbangkan ventilasi
dan penyaringan untuk mengurangi kimia, biologi, dan serangan radiologi.
o Operasional dan Pemeliharaan Praktek
Optimalkan
Mengingat operasi bangunan dan isu pemeliharaan selama tahap
desain awal fasilitas akan memberikan kontribusi untuk lingkungan kerja yang
baik, produktivitas yang lebih tinggi, energi dan biaya sumber daya, dan
mencegah kegagalan sistem. Mendorong bangunan operator dan personil perawatan
untuk berpartisipasi dalam tahap desain dan pengembangan untuk menjamin operasi
yang optimal dan pemeliharaan gedung. Desainer dapat menentukan bahan dan
sistem yang mempermudah dan mengurangi kebutuhan perawatan; membutuhkan air
lebih sedikit, energi, dan bahan kimia beracun dan pembersih untuk menjaga, dan
biaya-efektif dan mengurangi biaya hidup-siklus. Selain itu, fasilitas desain
untuk menyertakan meter untuk melacak kemajuan inisiatif keberlanjutan,
termasuk penurunan penggunaan energi dan air dan limbah, dalam fasilitas
tersebut dan di situs.
BAB IV
STUDY KASUS
Pulau Hashima (berarti "Pulau Perbatasan"),
umumnya disebut Gunkanjima (berarti "Pulau Kapal Perang") adalah
salah satu dari 505 pulau tak berpenghuni di Prefektur Nagasaki, sekitar 15
kilometer dari kota Nagasaki. Pulau ini merupakan pulau yang sangat kecil,
dengan panjang hanya sekitar 480 meter dan lebar 160 meter ! Total panjang
garis pantainya tidak lebih dari 1,2 km. Terletak sekitar 15 km dari kota
Nagasaki. Dihuni selama 87 tahun, sejak tahun 1887 hingga 1974, sebagai sebuah
lahan pertambangan batubara yang dikelola oleh Mitsubishi Corporation. Pulau
ini -walaupun sangat sempit- dilengkapi dengan berbagai fasilitas hidup bagi
karyawan tambangnya yang mencapai ribuan, berikut dengan anggota keluarganya
masing-masing. Fasilitas itu mencakup asrama / apartemen, sekolah, pasar,
pemandian umum, dsb. Merupakan suatu keajaiban bahwa pulau sekecil itu bisa
menyediakan fasilitas selengkap itu.
Pada tahun 1890 perusahaan Mitsubishi membeli pulau tersebut
dan memulai proyek untuk mendapatkan batu bara dari dasar laut di sekitar pulau
tersebut. Pada tahun 1916 mereka membangun beton besar yang pertama di pulau
tersebut, sebuah blok apartemen dibangun untuk para pekerja dan juga berfungsi
untuk melindungi mereka dari angin topan.
Pada puncak kejayaan aktivitas tambang di pulau ini,
kepadatan penduduknya mencapai 10 kali lipat kepadatan penduduk Tokyo, ibukota
Jepang, dan termasuk titik dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Jumlah
penduduk pulau ini membengkak pada tahun 1959., kepadatan penduduknya mencapai
835 orang per hektar (83.500 orang per km persegi), setara 216.264 orang per
mil persegi sebuah populasi penduduk terpadat yang pernah terjadi di seluruh
dunia.
Seiring dengan digesernya batubara oleh bahan bakar minyak
sejak 1960-an, maka aktivitas tambang pun mengalami penurunan, hingga akhirnya
Mitsubishi terpaksa menutup kegiatan eksplorasinya di pulau ini pada tahun
1974. Penghuninya pun dipaksa kembali ke kampung halamannya masing-masing di
berbagai penjuru Jepang, dan pulau ini dibiarkan kosong tak berpenghuni, hingga
hari ini.
BAB V
PEMBAHASAN
gunkanjima merupakan salah satu contoh pembangunan proyek
arsitektur yang mengalami kegagalan dikarenakan faktor hilangnya mata
pencaharian mereka yang berpusat di pulau tersebut. Pemilik pulau ini secara
resmi menutup mata pencaharian penduduknya dikarenakan bangkrut. Hal ini
menyebabkan para penduduk pulau ini di paksa meninggalkan pulau tersebut
sehingga pulau ini menjadi pulau mati yang tidak berpenghuni sama sekali.
Padahal apabila kita lihat pulau ini merupakan sebuah pulau
kecil yang memiliki fasilitas yang sangat lengkap. Mulai dari sekolah hingga
rumah sakit. Fasilitas selengkap itu sudah sangat cukup untuk memadai kehidupan
para penduduk pulau tersebut. Akan tetapi sumber mata pencaharian di pulau
tersebut bersumber dari batu bara yang akhirnya harus ditutup akibat pernurunan
aktifitas tambang. Penutupan batu bara ini menyebabkan seluruh penduduk secara
paksa di gusur untuk segera meninggalkan pulau ini.
Setelah bertahun tahun ditinggalkan penduduknya, pulau
hashima menjadi sebuah pulau mati yang sama sekali tidak berpenghuni. Masih
banyak perabotan-perabotan yang tersimpan didalamnya. Tidak adanya perwatan
membuat semua bangunan-banguna tua mulai runtuh dan bayak sekali reruntuhan
kaca di sekitarnya.
Pulau hashima merupakan salah
satu contoh gagalnya proyek pembangunan arsitektur dikarenakan kurangnya
perhatian terhada segala kebutuhan penduduk didalamnya. Dalam hal ini adalah
sumber mata pencaharian. gunkanjima memang dibangun khusus untuk seluruh
karyawan yang bekerja di pertambangan batu bara. Pemiliknya tidak memikirkan
secara detail segala kemungkinan yang akan terjadi. Seharusnya gunkanjima
bisa menjadi salah satu pulau yang maju dan menjadi sebuah kota dengan
penduduk yang padat apabila dijadikan sebagai objek wisata selain sebagai
tempat mencari nafkah. Pulau ini juga seharusnya bisa menarik seluruh wisatawan
sehingga keberadaannya tidak pernah punah. Misalnya saja dengan membuat objek
wisata seperti memperlihatkan pertambangan batu bawar bagi wisatawan asing
sehingga selain sebagai pusat pertambangan gunkanjima bisa jadi alternatif
wisata bagi turis-turis asing di Jepang.
Permasalahan utama gunkanjima adalah terlalu tertutup bagi
pengunjung asing, pulau ini hanya memberikan fasilitas-fasilitas standar bagi
penduduknya. Gunkanjima seharusnya bisa menjadi sebuah kota wisata di
Jepang. Letaknya yang berada ditengah lautan luas sangat indah dan hal ini bisa
dimanfaatkan untuk menarik wisatawan asing. Akan tetapi kurangnya gunkanjima
sudah merupakan proyek bisnis sejak awal dibangunnya, sehingga hal ini menjadi
sebuah kesalahan besar dalam proyek pembangunan. Apabila terjadi kegagalan maka
pulau ini menjadi sebuah pulau mati seperti sekarang.
Seharusnya proyek seperti ini dibangun tidak hanya
memikirkan suatu kepentingan saja tetapi juga bisa mengakomodasi menjadi sebuah
saran bagi kepentingan yang lain sehingga keberadaannya menjadi seimbang.
Dengan begitu maka kehidupan gunkanjima bisa berlangsung lebih lama.
BAB VI
KESIMPULAN
gunkanjima merupakan sebuah kota yang sangat padat pada masa
kejayaannya kota ini dibangun untuk kepentingan bisnis pertambangan yang
didalamnya merupakan karyawan dari perusahaan batu bara tersebut. Pulau ini
harus ditutup akibat bangkrutnya perusahaan pertambangan tersebut. Hal ini
menyebabkan seluruh penduduk pulau ini secara paksa harus keluar dari
gunkanjima.
Pulau ini sejak awal sudah menjadi pulau untuk keperluan bisnis. Yang pada
akhirnya gunkanjima menjadi salah satu pulau mati dengan populasi penduduk yang
paling padat. Gunkanjima sama sekali tidak terawat lagi hingga saat ini
sehingga seluruh bangunan yang sangat kokoh beberapa puluh tahun yang lalu
sudah banyak yang menjadi bangkai.
SARAN
dalam membangun bangunan harus menyiapkan sebuah perencanaan yang baik agar
bangunan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan sesuai dengan fungsinya. Juga
harus mempertimbangkan dampak-dampak lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Hashima
Sabtu, 03 November 2012
Masalah Pembangunan Ekonomi
Pembangunan jangka panjang tahap pertama Indonesia telah
berhasil mengantar ekonomi Indonesia dari pendapatan perkapita
sekitar USD 70 pada periode 1968/69 menjadi USD 700 pada periode
1993/94. Keadaan itu tercapai sebagai akibat pertumbuhan ekonomi
yang lumayan selama 25 tahun lebih.
Akan tetapi, hasil pembangunan jangka panjang yang pertama yang
menurut pandangan Bank Dunia itu cukup menakjubkan, tidaklah
mencapai optimum yang seharusnya. Ekonomi Indonesia seharusnya
bisa bertumbuh dengan lebih baik, sebagaimana dicontohkan oleh
negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Korea
Selatan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, ternyata tidak sebesar
yang seharusnya bisa dicapai, meskipun Indonesia dikenal alamnya
yang kaya-raya.
Banyak masalah, halangan, ketidak-pastian dan risiko yang harus
dihadapi ekonomi Indonesia selama ini. Berikut ini adalah sepuluh
persoalan utama yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia dewasa ini.
Persoalan ini harus dimengerti sepenuhnya sebagai suatu tantangan
masa depan pembangunan kita.
1. Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi.
Menurut catatan statistik pada tahun 1991/92, diperkirakan lebih
dari 100 juta orang Indonesia yang masih berada di bawah garis
kemiskinan. Kalau dianggap tidak ada perbedaan garis kemiskinan
antara kota dan desa, dan diambil angka Rp.1000 pengeluaran
sehari seorang (atau Rp. 30,000 sebulan seorang) sebagai garis
kemiskinan, maka di bawah garis tersebut ada 120 juta yang masih
miskin, yaitu di kota 20 juta dan di desa 100 juta orang. Kalau
diambil garis kemiskinan yang lebih rendah, yaitu Rp. 500 sehari
seorang (atau Rp. 15,000 sebulan seorang), maka akan terdapat 28
juta orang miskin, yaitu 2 juta di kota dan 26 juta di desa.
Pengeluaran ini belum termasuk untuk pendidikan dan kesehatan.
Belum lagi, kalau diperhitungkan untuk suatu keluarga yang
terdiri dari 4 orang. Tentu pengeluarannya sehari jauh lebih
besar daripada sekedar 4 kali Rp. 30,000. Keadaan sekarang
diperkirakan tidak berbeda jauh dari itu.
Data bisnis juga menunjukkan kesenjangan ekonomi yang sangat
besar antara mereka yang miskin di atas dengan yang kaya raya.
Grup-grup perusahaan yang tergabung dalam 200 konglomerat
Indonesia menghasilkan omset (nilai penjualan) sebesar ekivalen
dengan 80 persen dari pendapatan nasional (Produk Domestik Bruto,
sekitar Rp. 250 trilyun pada 1992/93).
Kesenjangan pendapatan juga terjadi antara sektor pertanian-
pedesaan dan sektor industri-perkotaan. Kesenjangan yang sangat
tajam juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa, dan antara Kawasan
Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Masalah kemiskinan
dan kesenjangan ini bisa menimbulkan friksi-friksi sosial yang
bisa merusak hasil pembangunan selama ini.
2. Masalah Hutang Luar Negeri.
Hutang luar negeri telah meningkat sangat besar. Pada saat ini
Indonesia telah menjadi negara penghutang terbesar nomor tiga
sesudah Brazil dan Meksiko, yaitu dengan hutang mencapai lebih
dari USD 100 miliar. Lebih dari 60 persen di antaranya adalah
hutang dari pemerintah, selebihnya hutang swasta. Dibanding
dengan hutang asing yang dibuat pada rezim Bung Karno, yang
mencapai USD 2.14 miliar, hutang asing sekarang merupakan
peningkatan 50 kali; padahal pendapatan nasional hanya naik tidak
lebih dari 15 kali.
Dengan kemajuan-kemajuan ekonomi yang dicapai di sektor
pemerintah, mungkin Indonesia tidak terlalu sulit di dalam
membayar kembali hutang asing tersebut sebesar USD 9-10 setiap
tahun. Akan tetapi untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 5-6
persen setahun, Indonesia terpaksa harus meminjam lagi hutang
asing baru sebesar minimum USD 5 milyar setiap tahun.
Hutang baru sebesar itu pun terpaksa harus dibuat melihat sisi
neraca pembayaran yang tidak seimbang, karena ketidakmampuan
ekonomi (industri) menghasilkan cukup devisa. Dengan demikian,
ekonomi Indonesia telah seakan-akan “terperangkap” atau
“kecanduan” (addicted) dengan hutang asing. Persoalan yang tidak
pernah bisa dijawab tentang hutang luar negeri ini adalah kapan
hutang asing itu semakin mengecil dan bisa habis terlunasi.
Kecuali, kalau hutang baru sangat dikurangi atau dihentikan
samasekali, dan dicari sumber-sumber dari dalam negeri sebagai
penggantinya. Persoalan hutang asing ini menjadi semakin besar
apabila dikaitkan dengan Yendaka (apresiasi Yen), di mana Yen
mempunyai porsi besar dalam hutang-hutang Indonesia.
3. Defisit Neraca Pembayaran dan Ketidakmampuan Industrial.
Defisit yang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat ini
ditunjukkan oleh transaksi lancar (current account) dalam neraca
pembayaran. Untuk periode tahun anggaran 1995/1996 ini
diperkirakan defisit akan mencapai lebih-kurang USD 5 milyar.
Defisit ini sendiri mengakibatkan penurunan nilai Rupiah yang
terus-menerus yang selanjutnya ketidakpastian ekonomi. Depresiasi
Rupiah sendiri tidak secara langsung meningkatkan ekspor, karena
ketakmampuan ekspor tidak sekedar karena Rupiah yang overvalued.
Sebab utama dari penurunan nilai Rupiah adalah ketidakmampuan
industri Indonesia menghasilkan cukup devisa sesuai dengan
permintaan. Selain itu, sektor riil penghasil barang ini sangat
tergantung pada ekonomi dan teknologi asing. Setiap kali
kenaikan ekspor terjadi, setiap kali pula harus didahului dengan
kenaikan impor yang tinggi atas bahan-bahan baku industri,
barang-barang penunjang atau komponen, dan barang-barang modal.
Dengan demikian industri Indonesia justru boros devisa daripada
menjadi penghasil devisa.
Sekarang ini, ekspor bersih Indonesia baru akan bergerak ke arah
USD 10 milyar dengan laju pertumbuhan yang menurun. Selain itu,
ekonomi Indonesia juga masih dibebani dengan impor atas jasa-
jasa, seperti pembayaran bunga pinjaman serta jasa-jasa lain
khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia dan
penguasaan teknologi, yang jumlahnya bergerak ke arah USD 15
milyar. Sebagai akibatnya, terjadilah defisit transaksi lancar
yang cukup besar.
Ketidakmampuan dalam teknologi mengakibatkan industri Indonesia
juga tidak cukup efisien, dan bahkan menjadi sumber dari high
cost, sehingga tidak mampu bersaing di pasar dunia menghasilkan
devisa. Industri juga menjadi bersifat kaku terhadap rangsangan
moneter dan menjadi sumber terjadinya inflasi. Industri Indonesia
ini masih sangat menggantungkan diri pada proteksi dan berbagai
fasilitas dari pemerintah. Industri-industri inilah yang justru
dikuasai dan sangat menguntungkan para konglomerat dan
monopolis-oligopolis. Mereka lebih banyak tergantung pada pasar
domestik yang sempit dan mahal daripada bersaing di pasar dunia.
4. Ketidakmampuan Pengembangan SDM dan Penguasaan Iptek.
Ketidakmampuan pengembangan SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi (Iptek) adalah inti dari semua persoalan ekonomi di
Indonesia. Selama pembangunan jangka panjang 25 tahun yang
pertama, Indonesia hampir samasekali melupakan pentingnya
pengembangan SDM dan penguasaan Iptek. Dari 140 juta angkatan
kerja (umur 10 tahun ke atas) Indonesia, hampir 80 persen
daripadanya berpendidikan setingkat sekolah dasar (SD), yaitu 45
juta tamat, 43 juta drop-out, dan 20 juta samasekali tidak pernah
sekolah. Jumlah sarjana hanya sekitar 2 juta, dan sisanya 30 juta
adalah dari SLTP dan SLTA, tamat atau tidak tamat.
Dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah itu, maka tenaga
kerja Indonesia menjadi sangat mahal dalam proses produksi.
Sebagai akibatnya lemah pula industrialisasi Indonesia. Akibat
selanjutnya adalah munculnya produk-produk yang tidak mampu
bersaing di pasar dunia, yang tidak mampu menghasilkan devisa.
Struktur industri Indonesia juga tidak didasarkan pada
comparative advantange sesuai dengan kekayaan alam Indonesia,
sehingga pada akhirnya produk-produknya tidak mampu berkompetisi
di pasar dunia. Hal ini mengakibatkan pilihan teknologi yang
salah, yang mahal karena tidak sesuai dengan kemampuan domestik.
Seharusnya dikembangkan pula jenis teknologi murah dan madya,
yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan yang mampu mengatasi
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pengangguran angkatan kerja di Indonesia juga cukup tinggi.
Bahkan, pengangguran telah pula melanda mereka yang berpendidikan
sarjana. Dikabarkan oleh Menteri Tenaga Kerja pada awal tahun
ini, bahwa dari 150 ribu sarjana yang dihasilkan setahun, hanya
maksimal sekitar 60 ribu yang memperoleh pekerjaan.
Pilihan teknologi yang terlalu padat modal, dan yang menjurus ke
tingkat menengah (medium technology)-atas dan tingkat tinggi
(high technology) juga menjadi salahsatu sebab terjadinya
pengangguran yang besar dan berbagai inefisiensi dalam industri.
Broad-base technology lah yang mestinya dikembangkan di
Indonesia, yaitu yang mengutamakan penggunaan jenis-jenis
teknologi yang rendah (low technology) hingga menengah-bawah,
yang murah, dan yang mudah disediakan, diadopsi dan dikuasai
oleh masyarakat banyak.
5. Penyempitan Infrastruktur.
Tidak ada pembangunan yang tidak dimulai dengan pembangunan
infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, air
bersih, telepon, dll. Selain ketidakmampuan SDM dan penguasaan
Iptek yang disebutkan di atas, juga ketidakmampuan menyediakan
dana dan alokasinya yang tak sesuai mempengaruhi pula
perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Secara umum, penyempitan infrastruktur (infrastructure
bottleneck) telah terjadi di Indonesia. Dibanding dengan
permintaan yang begitu besar terhadap investasi, maka jalan-jalan
di Indonesia terasa sempit, dan tenaga listrik serta air bersih
terasa sangat kurang. Pada gilirannya, penyempitan infrastruktur
ini akan mengakibatkan menyusutnya penanaman modal di Indonesia,
khususnya di sektor industri. Selain itu perlu diperhatikan,
bahwa penyempitan infrastruktur bisa menjadi sumber inflasi yang
sangat tinggi (hyper-inflation). Oleh sebab itu, masalah
penyempitan infrastruktur ini juga harus diatasi segera.
Investasi yang terus-menerus di tanah Jawa akan diikuti dengan
permintaan infrastruktur yang semakin meningkat, sesuatu yang
semakin sulit dipenuhi oleh tanah Jawa yang semakin terbatas.
Kesulitan air bersih di Jawa dan semakin sempitnya lahan untuk
industri dan perumahan (yang juga mempersempit lahan pertanian
subur) adalah contoh semakin sempitnya infrastruktur di Jawa.
Penyempitan infrastruktur juga terjadi di luar Jawa, khususnya
Kawasan Indonesia Timur. Keadaan ini tentu mengakibatkan
terhambatnya pembangunan wilayah. Pembangunan infrastruktur di
luar Jawa sudah harus diperhatikan, untuk mulai menggali sumber-
sumber kemakmuran untuk meningkatkan pendapatan wilayah di sana
dan mengurangi tekanan-tekanan di Jawa.
6. Masalah Pangan dan Beras.
Usaha besar-besaran telah dilakukan oleh Indonesia untuk
berswasembada beras. Pada masa lalu, pada saat infrastruktur
bendungan, sawah dan irigasi rusak, sehingga Indonesia tidak
mampu menyediakan cukup beras, Indonesia menjadi negara pengimpor
beras terbesar dunia, yang mengakibatkan terkurasnya deviusa.
Sejak awal 1980-an, Indonesia telah berhasil berswasembada beras.
Tetapi swasembada beras ini, kini, terancam bahaya. Tahun ini
diperkirakan Indonesia harus mengimpor sekitar 2 juta ton beras.
Terjadinya paceklik pada beberapa tahun terakhir ini, antara lain
karena banjir dan kemarau yang panjang, mengakibatkan terjadinya
penurunan produksi beras. Apabila pola konsumsi beras tidak
diperbaiki, penduduk semakin bertambah (sekitar 10 juta setiap 5
tahun), maka kesulitan beras yang terjadi pada masa yang silam
akan bisa terulang kembali.
Patut pula dicatat, bahwa investasi dan pembangunan industri di
Jawa yang subur telah semakin mempersempit lahan pertaniannya
“dimakan” oleh areal industri dan perumahan. Banyak sawah-sawah
dengan irigasi teknis yang dikonversikan menjadi kawasan industri
dan perumahan. Demikian pula tiadanya penambahan areal sawah
baru, khususnya di luar Jawa, akan lebih menyulitkan penambahan
produksi beras di masa mendatang.
Selain itu juga perlu difahami, bahwa untuk meningkatkan produksi
beras pada masa lalu, segala dana dan daya dicurahkan “habis-
habisan” untuk meningkatkan produksi beras ini. Sebagai
akibatnya, meskipun ada peningkatan produksi beras secara
substansial, tetapi hal itu diikuti pula dengan menurunnya
produksi-produksi lain, khususnya tanaman-tanaman pangan lain.
7. Masalah Pertanahan dan Hak Atas Tanah.
Patut dicatat, bahwa tidak ada pembangunan yang tanpa dimulai
dengan pengendalian penggunaan tanah dan hak atas tanah, atau
land reform. Land reform tidak saja mengatur alokasi penggunaan
tanah, tetapi juga hak kepemilikan dan penggunaan atas tanah,
baik untuk individu atau kelompok, menetapkan hak maksimum dan
minimum, serta lamanya memegang hak tersebut. Selain berdampak
sosial, karena pertanahan ini berkaitan pula dengan kebutuhan
tanah untuk investasi, maka persoalan pertanahan sangat mungkin
mengakibatkan terhambatnya banyak sektor dalam pembangunan.
Di Indonesia masalah pertanahan dan hak atas tanah tersebut belum
diatur dengan baik. Sebetulnya sudah ada UU Pokok Agraria (1960),
akan tetapi UU tersebut pada kenyataannya tidak berjalan atau
sengaja tidak dijalankan sepenuhnya. Sebagai akibatnya,
muncullah masalah pertanahan yang meliputi berbagai kasus
penggusuran atas hak memiliki dan menggunakan lahan, pengalihan
fungsi lahan, dan banyak masalah lainnya.
Di samping ada penggusuran atas hak minimum individu, ada pula
kasus tentang penguasaan lahan yang tak terbatas. Tentu saja hal
tersebut mengakibatkan persoalan-persoalan baru yang berkaitan
dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Pengalihan fungsi
lahan meliputi penggusuran daerah kumuh yang padat hunian dan
pengalihan fungsi sawah atau lahan pertanian untuk tujuan-tujuan
pembangunan, termasuk perumahan dan kawasan industri, telah
menjadi persoalan pembangunan yang serius. Masalah pertanahan
juga muncul dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan transmigrasi,
relokasi penduduk, serta pembukaan lahan baru dan pembangunan
wilayah untuk tujuan-tujuan produktif.
8. Korupsi dan Inefisiensi Ekonomi.
Masalah korupsi dan inefisiensi ekonomi meliputi berbagai macam
kebocoran dalam ekonomi dan pembangunan. Selain korupsi yang
murni, ada korupsi tidak langsung yang dilakukan melalui praktek-
praktek mark-up dalam pelaksanaan pembangunan proyek. Berbagai
kebocoran ini menunjukkan pemakaian dana yang tidak produktif,
termasuk pemilihan proyek-proyek yang tak bermanfaat. Praktek
korupsi melibatkan dana negara, dan terjadi akibat kolusi antara
birokrat dan pengusaha berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang.
Ini semua menimbulkan keadaan high-cost dalam ekonomi.
Selain itu, ada pula kebocoran-kebocoran ekonomi yang bermuara
pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengakibatkan
inefisiensi ekonomi, seperti monopolisme-oligopolisme, pemberian
fasilitas keagenan dan proteksi dalam industri dan
perdagangan, serta berbagai kemudahan secara sembarangan bagi
sekelompok kecil masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, kebocoran ekonomi
Indonesia dikabarkan mencapai paling sedikit 30 persen, yaitu
dikaitkan dengan angka ICOR (incremental capital-output ratio)
yang terlalu tinggi (5). Apabila ICOR bisa dipertahankan rendah
(3,5), maka pertumbuhan ekonomi, dengan dana yang ada, dapat
mencapai 8,5 persen per tahun sekalipun tanpa hutang asing.
Sedang kalau hutang asing tetap dibuat, maka pertumbuhan ekonomi
bisa mencapai 9,5 persen. Padahal untuk mencapai angka
pertumbuhan 6-7 persen saja sulit sekarang ini.
Satu bukti lagi tentang inefisiensi pembangunan di Indonesia
ditunjukkan dari penelitian oleh Dr. Jeffrey A. Winters, dimana
Indonesia (1973/74-1989/90) disebutkan membutuhkan dana sebesar
USD 166,5 milyar, yang 20 kali lebih besar dari yang dibutuhkan
Korea Selatan (1959-1975) dalam periode 17 tahun konsolidasi
ekonomi. Padahal jumlah penduduk Indonesia hanya sekitar 5 kali
lipat penduduk Korea Selatan. Dan agaknya, 15 tahun dari sekarang
tidak mungkin ekonomi Indonesia akan mencapai pendapatan
perkapita 10 kali dari yang sekarang untuk menyamai Korea Selatan
yang telah mencapai USD 7000.
9. Sentralisasi Pembangunan dan Tiadanya Otonomi Daerah.
Salahsatu sumber inefisiensi pembangunan Indonesia adalah sistim
pemerintahan yang sangat sentralistis. Indonesia adalah negara
kepulauan yang sangat luas, dan beragam dalam suku, adat
istiadat, bahasa dan kebudayaannya. Meskipun begitu, semangat
persatuan dan kesatuan di antara berbagai keragaman itu justru
tumbuh secara alamiah sejak beratus tahun yang lampau. Negara
yang begitu luas dan beragam ini tidak mungkin akan dibangun
secara baik dengan sistim yang sentralistis.
Meskipun berbentuk negara kesatuan, tetapi otonomi pemerintahan
di daerah-daerah (provinsi) sangat diperhatikan oleh para
pemimpin kemerdekaan. Sehingga, otonomi daerah dinyatakan dalam
pasal khusus dalam Konstitusi, yaitu Pasal-18 UUD-1945. Dalam
prakteknya sekarang, otonomi daerah sebagaimana dituntut oleh
negara seluas dan seberagam Indonesia ini tidak berlangsung.
Sstim pembangunan yang sentralistis tanpa otonomi daerah akan
menghasilkan pembangunan yang timpang. Ketimpangan seperti ini
sudah sangat terlihat manakala pembangunan di Jawa dibandingkan
dengan luar Jawa atau antara Kawasan Indonesia Barat dan Timur.
Bahkan antara Jakarta (Jabotabek) dan daerah-daerah lain.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan memicu konflik-konflik
sosial yang bisa menghambat laju pembangunan, dan kemungkinan
perpecahan, sebagaimana terjadi di Soviet Uni dan Jerman Timur.
Dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, pemerintah
pusat menyerahkan sebagian pekerjaan administrasi pemerintahan
kepada daerah-daerah. Misalnya, urusan produksi dan industri,
perdagangan, pendidikan, keamanan daerah dan banyak hal lain.
Dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan tersebut,
daerah memperoleh kewenangan pula untuk mengidentifikasi sendiri
kemampuan, kekayaan dan keunggulan komparatif daerahnya untuk
dikembangkan dalam suatu konsep pembangunan daerah yang
diselenggarakan oleh putra-putra daerah sendiri. Pemerintah pusat
hanya sekedar menetapkan garis-garis besar pembangunan, khususnya
dalam upaya membuat keseimbangan pembangunan antar daerah.
10. Masalah Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia.
Prestasi pembangunan, seringkali dilupakan orang, banyak
dipengaruhi oleh sistim pemerintahan demokratis. Demokrasi, pada
hakekatnya, telah menjadi tuntutan setiap masyarakat di setiap
negara. Tidak ada negara satupun di dunia ini yang tidak pro
kepada demokrasi. Demikian pula Konstitusi UUD-1945 memberi
amanat, agar Republik ini diselenggarakan secara demokratis dalam
semua sektor, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Meskipun
tidak sendiri, ternyata Indonesia juga belum menyelenggarakan
demokrasi sebagaimana dituntut oleh Konstitusinya.
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang memperlihatkan,
betapa demokrasi masih belum dijalankan secara benar dan
sepenuhnya. Salahsatunya adalah dominasi dari pemerintah
(eksekutif) di atas lembaga perwakilan rakyat (legislatif) dan
lembaga peradilan (yudikatif). Dengan dominasi tersebut seakan-
akan semua keputusan pemerintah hendak dipaksakan agar diterima
oleh parlemen dan seluruh rakyat. Dengan keadaan seperti itu,
tidak lagi ada alternatif kebijakan yang cukup untuk digali, dan
dipilih yang terbaik di antaranya.
Pemerintah Orde Baru telah menetapkan tentang pentingnya
stabilitas pembangunan. Stabilitas ini dimaksudkan untuk
mengamankan segala keputusan pemerintah di depan parlemen.
Demikian pula stabilitas harus bisa diciptakan di lingkungan
masyarakat. Untuk mempertahankan stabilitas tersebut,
digunakanlah pendekatan, a.l. pendekatan keamanan yang dirasakan
sangat berlebihan. Pendekatan ini, selain sangat kontras dengan
pendekatan kesejahteraan rakyat, juga menempatkan eksekutif pada
kedudukan yang adikuasa yang bertentangan sendiri dengan prinsip
kedaulatan rakyat. Memang dengan pendekatan tersebut stabilitas
bisa dijamin, tetapi kemungkinan besar bersifat semu. Stabilitas
permanen dan dinamis hanya bisa tercipta kalau rakyat berdaulat.
Salahsatu dimensi utama dalam demokrasi adalah hak-hak asasi
manusia, yang juga tidak berjalan sebagaimana telah diamanatkan
oleh Konstitusi. Hak untuk berbeda pendapat, khususnya dengan
pemerintah, hampir selalu diartikan sebagai upaya menentang dan
memusuhi pemerintah. Seringkali dilupakan, bahwa kecendekiaan,
intelektualisme, penguasaan Iptek, dan pengembangan SDM lainnya
hanya bisa berlangsung dan mencapai puncaknya dalam alam
kemerdekaan bersikap dan berpendapat yang penuh, yang hanya bisa
dibatasi oleh ilmu pengetahuan itu sendiri, akhlak mulia, hukum
dan Konstitusi.
Demokrasi juga meliputi hak untuk membangun, untuk hidup
sejahtera, untuk berbudaya, untuk menikmati sumber-sumber
kemakmuran dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya.
Pembangunan adalah masalah alternatif, di mana rakyat harus
diberi peluang untuk mengemukakan pilihannya yang terbaik.
Berbagai kasus pencekalan hak berbicara, berserikat dan
berkumpul, penyiksaan dan pembunuhan serta pelanggaran hukum dan
hak-hak asasi lainnya yang dijamin oleh Konstitusi, dengan alasan
keamanan, sampai sekarang, juga masih terjadi. Masyarakat, pada
hakekatnya, dihantui oleh rasa takut terhadap penguasa.
Kesewenang-wenangan berlangsung, dan hukum seakan-akan selalu
berpihak kepada kekuasaan. Padahal demokrasi adalah alat
menjalankan negara, bukan produk kekuasaan.
Penutup
Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia. Berbagai persoalan
yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia harus mulai terbuka bagi
dunia. Bagaimanapun juga Indonesia, sebagaimana negara-negara
berkembang lainnya, tidak mungkin melaksanakan pembangunanya
sendiri. Oleh karena itulah didirikan berbagai lembaga
internasional, seperti PBB, Bank Dunia, CGI (atau IGGI) dan lain-
lain sebagai milik masyarakat internasional, yang selama ini
telah memberikan kontribusinya yang besar bagi Indonesia.
Kesulitan yang dihadapi dunia juga bisa berdampak terhadap
Indonesia, dan sebaliknya. Indonesia tidak ingin mengalami hal
seperti yang terjadi di Meksiko baru-baru ini, misalnya, yang
tiba-tiba saja mengalami krisis moneter yang menjadi persoalan
bagi dunia. Dunia perlu tahu apa yang terjadi dan yang menjadi
persoalan ekonomi dan pembangunan Indonesia, kesemuanya menjadi
tantangan untuk dipecahkan di masa mendatang.
Dalam hubungan tersebut, sangat patut diperhatikan Sila Kedua
Pancasila, yaitu internasionalisme atau kemanusiaan yang adil dan
beradab (humanisme). Nasionalisme tanpa internasionalisme tidak
akan membawa Indonesia kemana-mana. Meskipun ada unsur-unsur
kultural yang kuat sebagaimana terkandung dalam prinsip
nasionalisme, tetapi dengan internasionalisme itu, semakin
jelaslah bahwa Indonesia tidak bisa mengabaikan dasar hak-hak
asasi manusia sebagai hak-hak yang bersifat universal yang harus
dijunjung tinggi oleh semua bangsa di dunia.
(sumber : http://arozielerroy.wordpress.com/2011/07/07/10-masalah-pembangunan-ekonomi-indonesia/ )
Langganan:
Postingan (Atom)