TUJUAN NASIONAL
Tujuan Nasional adalah sasaran segala kegiatan suatu
bangsa yang perwujuannya harus diusahakan secara terus rnenerus. Tujuan
nasional bangsa Indonesia tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945
yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, untuk memajukan kesejahtetaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial”.
Dan tujuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik mar
negeri Indonesia bercorak:
Mempertahankan kemetdekaan dan menghapuskan segala bentuk
penjajahan,
Memperjuangkan perdamaian dunia yang abadi, dan
Memperjuangkan susunan ekonomi dunia yang berkeadilan
sosial,
Tujuan nasional Indonesia yang ada pada pembukaan
undang-undang dasar 1945 adalah mencakup tiga hal, yaitu :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dari ketiga point di atas maka dapat kita simpulkan bahwa
negara Indonesia melindungi negara tanah air dan seluruh warga negara indonesia
baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Selain itu negara kita
menginginkan situasi dan kondisi rakyat yang bahagia, makmur, adil, sentosa,
dan lain sebagainya. Di samping itu negara indonesia turut berperan aktif dalam
menjaga perdamaian dunia untuk kepentingan bersama serta tunduk pada
perserikatan bangsa-bangsa atau disingkat PBB.
FILSAFAH IDIOLOGI NEGARA
Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang
lalu di mana akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang
sederhana dan permasalahan yang tidak begitu kompleks seperti saat ini.
Filsafat, sering disebut sebagai ratunya ilmu-ilmu. Sejak awal perkembangannya
hingga sekarang tak pernah lepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia
berada dan berkembang.
Di masa Yunani kuno, disebut sebagai langkah awal pembebasan
akal manusia dari budaya mitis yang membelenggu potensi-potensi rasional
manusia. Berkembangnya kesadaran baru bahwasanya akal manusia memiliki kekuatan
yang luar biasa tajam untuk membedah segala persoalan. ”Kritis! Itu adalah kata
kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman”, jelas Donny Gahral Adian
(2002: 1).
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang kita belum tahu. Menurut Jujun S. Suriasumantri (2001: 19)
“Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semaunya akan pernah kita
ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga
berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang,
seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.”
Filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosopia”. Philein
artinya “cinta” dan “sophia” artinya “kebijaksanaan”. Jadi, secara harifiah
filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam perkembangannya, filsafat
memiliki brbagai macam pengertian, antara lain:
cinta kebijaksanaan.
Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu
untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan.
Hasil pikiran yang kritis dan dikemukakan dengan cara yang
sistematis.
Hasil pikiran manusia yang paling dalam.
Pendalaman lebih lanjut dari ilmu pengetahuan.
Pandangan hidup.
Hasil analisa dari abstraksi.
Anggapan dasar.
Bersifat Kritis – Rasional, Kritis –Reflektif,
Radikal, Tidak Fragmentaris, Universal.
Kritis, analitis, evaluatif dan abstraksif.
Filsafat merupakan suatu reflektisi yang merupakan kegiatan
akal budi, perenungan….. yang direfleksikan filsafat adalah apa saja yang tidak
terbatas pada bidang/tema terentu. (Achmad Charris Zubair; 1987: 7-8). Donny
Gahral Adian (2002: 3) mendefinisikan filsafat sebagai “upaya mencari atau
memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang
kritis, radikal, reflektif, dan integral.”
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa
berfilsafat sesungguhnya dimulai dari rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai
dari ragu-ragu. Oleh karena itu karakteristik berfikir filsafat, seperti
dijelaskan Donny Gahral Adian (2002:3) “Filsafat membedakan dirinya baik dari
ilmu pengetahuan lewat pendekatannya yang integral dalam arti filsafat tidak
mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara menyeluruh. Filsafat bersifat
kritis dalam mengkaji objeknya, ia tidak pernah berhenti pada penampakkan,
asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan demi
mencapai hakikat. Radikal berasal dari akar kata “radix” yang berarti akar.
Filsafat selalu menggunakan daya kritisnya untuk mengkaji suatu objek sampai ke
akar-akarnya. Selain kritis-radikal, filsafat bersifat reflektif dalam memahami
objeknya, ia selalu berusaha mengendapkan apa yang ia tangkap (gejala-gejala)
untuk diolah dan pada akhirnya menghasilkan pengetahuan yang jernih.”
Seiring dengan pendapat di atas, Jujun S. Suriasumantri
(2001: 20) menjelaskan karakteristik berfikir filsafat, adalah sebagai berikut:
a. Sifat menyeluruh.
Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu
sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang
lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. dia
ingin tahu apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya. (Pendek kata,
seorang ilmuwan tidak picik dalam memandang keilmuan; — penjelasan penulis).
Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri. Yang saya tahu, simpul
Sokrates, ialah bahwa saya tak tahu apa-apa!.
b. Sifat mendasar.
Seorang yang berfikir filsafat selain menengadah ke
bintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Jadi
karakteristik berfikir filsafati adalah mendasar, fundamental atau radikal
(sampai ke akar-akarnya). Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan
kriterias tsb dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri
itu apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Dan menyusur
sebuah lingkaran, kita harus mulai dari satu titik, yang awal dan pun sekaligus
awal. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
c. Sifat spekulatif.
Ragukan bahwa langit dan bumi itu berlapis-lapis. Bahwa kita pun tidak yakin
kepada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini
kita hanya berspekulasi sebagai ciri filsafat yang ketiga.
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Kita mulai mengernyitkan kening dan timbul kecurigaan terhadap filsafat: bukankah spekulasi ini suatu dasar yang tidak bisa diadakan? Dan seorang filsuf akan menjawab: memang namun hal ini tidak bisa dihindarkan. Menyusur sebuah lingkaran kita harus mulai dari sebuah titik bagaimanapun juga spekulatifnya. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisis maupun pembuktiannya, kita bisa memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak. Dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Philosopia atau filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan.
Cinta artinya hasrat yang kuat atau yang bersungguh-sungguh, sedangkan
kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kebenaran sejati atau kebenaran yang
sesungguhnya. Oleh karena itu fungsi filsafat adalah:
a. mengajukan pertanyaan yang tidak diajukan dalam ilmu empirik.
b. Mengadakan revolusi di dalam persepsi.
c. Mencegah pemikiran rutin dan mengembalikannya kepada pemikiran reflektif
d. Mencegah pemikiran mekanistik dan mengembalikannya ke pemikiran aktif dan kreatif. (Rangkuman diskusi penelitian filsafat Yayasan Filsafat Indonesia, Jakarta 15 – 2 – 1985).
e. Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui … Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu. (Jujun; 2001: 20).
a. mengajukan pertanyaan yang tidak diajukan dalam ilmu empirik.
b. Mengadakan revolusi di dalam persepsi.
c. Mencegah pemikiran rutin dan mengembalikannya kepada pemikiran reflektif
d. Mencegah pemikiran mekanistik dan mengembalikannya ke pemikiran aktif dan kreatif. (Rangkuman diskusi penelitian filsafat Yayasan Filsafat Indonesia, Jakarta 15 – 2 – 1985).
e. Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui … Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu. (Jujun; 2001: 20).
Hal ini berarti orang yang berfilsafat adalah orang yang
memiliki keinginan untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat akan
dijadikan pegangan atau pedoman untuk mencari kebenaran. Dengan kata lain,
filsafat adalah pandangan hidup dan landasan pemikiran yang bersumber pada
kebijakan moral yang digunakan untuk mengetahui, mempelajari, dan menganalisis
sesuatu fenomena alam maupun sosial untuk memperoleh jawaban yang benar atas
fenomena tersebut untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Falsafah dan
ideology juga menjadi pokok pikiran. Hal ini tampak dari makna falsafah dalam
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
a. Alinea pertama menyebutkan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Maknanya: Kemerdekaan adalah hak asasi manusia.
b. Alinea kedua menyebutkan: “… dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” Maknanya: adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
c. Alinea ketiga menyebutkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini Kemerdekaannya.” Maknanya: bila Negara ingin mencapai cita-cita maka kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridlo Allah yang merupakan dorongan spiritual.
d. Alinea keempat menyebutkan: “Kemerdekaan dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bagi seluruh rakyat Indonesia.” Alinea ini mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar