AMDAL merupakan singkatan dari
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia,
ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai
pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dengan kata lain AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah
No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan
dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan
mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan
bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan
wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan.
AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian
ijin usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
- Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
- Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
- Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
- Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
- Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
- Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
- Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
- Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
- Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
- Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
- Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
- Identitas pemrakarsa
- Rencana Usaha dan/atau kegiatan
- Dampak Lingkungan yang akan terjadi
- Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
- Tanda tangan dan cap
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
- Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan
bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah
yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara
lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau
tidak.
Guna AMDAL
Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan
lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
§ Memberi
masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau
kegiatan
§ Memberi
masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
§ Memberi
informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha
dan atau kegiatan
Prosedur
AMDAL
Prosedur AMDAL terdiri dari :
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib
mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan
tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi
kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL
adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam
studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai
disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL
untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian
KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk
memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL.
Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang
telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah
selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi
Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk
penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh
penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Yang
menyusun AMDAL
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat
meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL
harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan
standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala
Bapedal Nomor 09/2000.
Yang
terlibat dalam proses AMDAL
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL
adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas
menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan
Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola
lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di
Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah
lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan
terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan
Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang
bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilaksanakan.
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan
alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan
rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh
sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh
nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses
AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat
pemerhati.
Jenis-jenis AMDAL tunggal
Jenis-jenis AMDAL tunggal adalah
hanya satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang kewenangan pembinaannya di bawah
satu instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan AMDAL.
TERPADU/MULTISEKTORAL adalah
hasil kajian mengenai dampak besar dan penting usaha/kegiatan terpadu yang
direncanakan terhadap LH dan melibatkan lebih dari 1 instansi yang membidangi
kegiatan tersebutKriteria kegiatan terpadu meliputi : berbagai usaha/kegiatan
tersebut mempunyai keterkaitan dalam perencanaan dan proses produksinya Usaha
dan kegiatan tersebut berada dalam satu kesatuan hamparan ekosistem AMDAL
KAWASAN adalah hasil kajian mengenai dampak besar dan penting usaha/kegiatan
yang direncanakan terhadap LH dalam satu kesatuan hamparan ekosistem zona
pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan RT RW yang ada.
AMDAL
Lahan basah
Panduan penyusunan AMDAL LAHAN BASAH
sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.5 tahun 2000. Salah satu
kategori wilayah yang perlu dioptimalkan pembangunannya adalah kawasan lahan
basah.
TIPELOGI EKOSISTEM terbagi menjadi 3 zona :
·
Ekosistem sungai
kawasan sepanjang kanan kiri
sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai Kriteria
sempadan sungai : Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan
50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman Untuk sungai
di kawasan permukiman lebar sempadan sungai seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu 10
sampai 15 meter
·
Ekosistem pantai
kawasan tertentu sepanjang
pantai yangmempunyai manfaat penting untukmempertahankan dan melindungi
kelestarianfungsi pantai dari gangguan kegiatan ataupunproses alam. Kriteria :
dataran sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi
fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
·
Ekosistem Sekitar Waduk dan Rawa
Berhutan Bakau.
Kawasan
tertentu di sekeliling danau/waduk yang mempunyaimanfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsiwaduk/danau. Perlindungan terhadap kawasan
sungai/wadukdilakukan untuk melindungi danau/waduk. Kriteria : sepanjang tepian
danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
KAWASAN RAWA BERHUTAN BAKAU
Kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau(mangrove) yang
berfungsi memberikan perlindungan kepadaperikehidupan pantai dan lautan.
Kriteria : Minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan
terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
Lahan
genangan air secara alamiah yang terjadi secara terus menerus atau musiman
akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus
TERMASUK DALAM KAWASAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG Kawasan hutan lindung
Kawasan suaka alam darat Kawasan bergambut Kawasan mangrove Kawasan resapan air
Taman Nasional Sempadan pantai Taman hutan raya Sempadan sungai Taman wisata
alam Kawasan sekitar waduk/danau Kawasan cagar budaya dan Kawasan sekitar mata
air Ilmu pengetahuan Kawasan suaka alam laut dan perairan Kawasan rawan bencana.
Pengertian
UKL dan UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau
kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap
harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan
yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan
teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan
lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin
melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan
seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan
kepada :
AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib
menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan
Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah
diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum
memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam
operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka
kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini
kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit
Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen
lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis
menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang
aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang
kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam
operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan
lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang
merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan
Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit
Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan
sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis
membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian
dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa
karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan
lingkungan sekaligus dapat “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam
dokumen AMDAL.
Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini
sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam
melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut
antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam
ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh
asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.
Contoh-contoh
Kasus AMDAL
u SEMARANG
Pelaku usaha dan pemerintah
daerah dinilai masih mengabaikan masalah lingkungan.Hal ini terlihat dari masih
adanya kawasan industri di Semarang yang beroperasi tanpa terlebih
dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Selain itu, sejumlah industri di Semarang juga masih banyak yang belum secara
rutin, yaitu enam bulan sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri
sudah beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat
apa -apa.
Kami paling hanya bisa
mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun yang bisa kami lakukan. Terus
terang, Bapedalda adalah instansi yang mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala
Sub -Bidang Amdal, Bapedalda Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin
menceritakan, kawasan industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota
Semarang, misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum
mempunyai Amdal.
Padahal, menurut Wahyudin,
salah satu syarat agar sebuah kawasan industri bisa beroperasi ialah
dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi Amdal. “Bapedalda berkali -kali menelpon
pengelola kawasan industri tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal
mereka. Namun, sampai sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan
membuat studi Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya.
Wahyudin menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada
suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum
menjalankan studi Amdal.
Menurut dia, hal ini
merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang tidak peduli terhadap masalah
lingkungan, melainkan juga pemerintah daerah. Sikap tidak peduli terhadap
masalah lingkungan juga ditunjukkan sejumlah pemilik usaha industri ataupun
kawasan industri dengan tidak menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali
kepada Bapedalda. Wahyudin mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya,
tidak pernah menyampa ikan laporan perkembangan usahanya, terutama yang
diperkirakan berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.
Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri
kecil (LIK) di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan
Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri
tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu diketahui
oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi kemungkinan pencemaran
yang bisa terjadi. Ia menambahkan, indu stri kecil, seperti industri mebel,
sebenarnya berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Namun, selama ini,
orang terlalu sering hanya menyoro ti industry berskala besar.
(Kompas, 2 Agustus 2002)
u BATAM
Sebanyak 575 dari 719
perusahaan modal asing (PMA) dan perusahaan modal dalam negeri (PMDN) di Pulau
Batam tak mengantungi analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) seperti yang
digariskan. Dari 274 industri penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3), hanya 54 perusahaan yang melakukan pengelolaan pembu angan limbahnya
secara baik. Sisanya membuang limbahnya ke laut lepas atau dialirkan ke
sejumlah dam penghasil air bersih. “Tragisnya, jumlah limbah B3 yang dihasilkan
oleh 274 perusahaan industri di Pulau Batam yang mencapai tiga juta ton per
tahun selama ini tak terkontrol. Salah satu industry berat dan terbesar di
Pulau Batam penghasil limbah B3 yang tak punya
Pengolahan limbah adalah
McDermot,” ungkap Kepala Bagian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) Kota Batam Zulfakkar di Batam, Senin (17/3). Menurut Zulfakkar,
dari 24 kawasan industri, hanya empat yang memiliki Amdal dan hanya satu yang
memiliki unit pengolahan limbah (UPL) secara terpadu, yaitu kawasan industri
Muka Kuning, Batamindo Investment Cakrwala (BIC). Selain BIC, yang memiliki
Amdal adalah Panbil Idustrial Estate, Semblong Citra Nusa, dan Kawasan Industri
Kabil. “Semua terjadi karena pembangunan di Pulau Batam yang dikelola Otorita
Batam (OB) selama 32 tahun, tak pernah mempertimbangkan aspek lingkungan dan
social kemasyarakatan. Seolah-olah, investasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi
tujuan segalanya. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), maka pengelolaan sebuah kawasan industri
tanpa mengindahkan aspek lingkungan, jelas melanggar hukum. “Semenjak
Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dan Bapedalda terbentuk tahun 2000, barulah
diketahui bahwa Pulau Batam yang kita bangga-banggakan itu, kondisi lingkungan
dan alamnya sudah rusak parah.
(Kompas, 18 Maret 2003)
Sumber :